Kanalanalisis.com, Jakarta – Wacana tentang sistem Pemilu 2024 saat ini sedang ramai dibahas.
Pakar komunikasi politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto, berpendapat tak ada yang secara khusus lebih diuntungkan dari penerapan sistem proporsional terbuka maupun sistem proporsional tertutup di pemilu.
Arif mengatakan hal itu saat diskusi yang mengusung tema Catatan Kritis Demokrasi Awal Tahun: “Proyeksi Politik 2023, Membaca Arah Pemilu 2024: Terbuka atau Tertutup?”.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
“Tidak ada yang secara spesifik diuntungkan atau dirugikan, karena sistem itu kan sebenarnya tidak didesain untuk kepentingan pihak tertentu. Tetapi kan penerapannya itu bisa jelas bahwa berbeda terhadap partai-partai lain,” kata Arif pada diskusi di Kantor PARA Syndicate, Kebayoran Baru, Jaksel, Rabu (4/1/2023).
Dia berpendapat apabila pemilubkembali menerapkan sistem proporsional tertutup, mungkin elite partai akan memperoleh kendali yang besar.
Dirinya berpendapat kejelekan sistem tertutup itu akan bermunculan lagi.
“Kalau misalnya kita akan kembali ke sistem tertutup, kemungkinan besar, kan ini berandai-andai ya, kemungkinan besar, kendali elite partai akan lebih besar. Dan konsekuensinya, apa yang kita lihat sebagai keburukan sistem tertutup akan kembali muncul,” tutur Arif.
Meski begitu, Arif menuturkan tak berarti sistem proporsional terbuka merupakan pilihan yang lebih baik.
Alasannya, sistem mana pun pasti akan memiliki kelemahan masing-masing.
“Tapi saya tidak mengatakan kalau sistem terbuka pasti lebih baik ya. Sebab sistem mana pun yang dipilih, pertama pasti punya kelemahan, Kedua, kebaikan-kebaikan dalam sistem itu juga pasti mengandalkan support dari sistem yang lain,” tuturnya.
“Sistem kepartaian kita, sistem sosial kita yang masih punya kesenjangan. Kalau itu nggak terbagi, sistem manapun yang kita pilih, kualitas Pemilu nggak akan meningkat,” katanya lagi.
Dirinya memberikan penjelasan terlepas dari sistem mana yang akan dipilih nantinya, kelembagaan politik di semua partai harus tetap dilaksanakan.
Selain itu, perlu diperhatikan tentang pendidikan politik untuk para kader.
“Jadi voting sistem tidak bisa diletakkan sebagai obat mujarab bagi penyakit demokrasi negara kita yang kompleks ini. Maka bagi saya, terlepas dari sistem mana yang akan dipilih itu yang pasti bahwa, pertama, kelembagaan politik di partai-partai itu harus dilakukan, supaya demokratisasi di internal partai itu bisa berefek bagus bagi calon yang kualitasnya meningkat. Jadi mau pake sistem terbuka atau tertutup kalau kualitas calonnya bagus, ya pemilih yang diuntungkan,” kanya.
“Kedua, tugas politik kita yang masih ketinggalan itu melakukan pendidikan politik. Partai-partai dapat subsidi dari uang negara dan diamanatkan oleh UU untuk melakukan pendidikan politik. Tetapi faktanya, partai-partai menikmati ketika pemilih tidak kunjung menjadi cerdas. Nah saya khawatir ini yang bisa dimanfaatkan oleh kepentingan tertentu untuk membalik situasi, sebab dengan sistem terbuka itu harus diakui kompetisinya menjadi lebih ketat,” pungkasnya.
Sumber : Siapa Untung Jika Pemilu Kembali ke Proporsional Tertutup? Ini Kata Pakar
Editor : Eny Lestiani